Jumat, 21 September 2012

“Kalau Hutan Musnah, “Hidup” Kami Hilang”


Dayu, Kerusen Janang, Kalimantan Tengah. 18 September 2012.
Lhoksado menyisakan cerita leluhur yang sarat dengan kearifan lokal dan adat budayanya yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Dayak Meratus. Sekelumit cerita tentang pengelolaan hutan secara adat, masyarakat yang ramah, dan juga sumber energi yang berkelanjutan menjadi bukti “pembangunan” yang sebenarnya dan bukan bayang-bayang pembangunan yang malah meminggirkan dan mengeruk sumber daya alam masyarakat setempat.
Enggang Borneo dan Harimau berkesempatan mengunjungi Desa Haratai, Air tidak hanya menghidupi tetapi juga sumber penerangan, system pembangkit listrik skala kecil yang dikenal dengan mikrohidro adalah sumber penerangan 41 rumah di desa ini menjauhkan mereka dari sumber kotor energi seperti batubara. Air adalah sumber yang tak akan habis, untuk itu harus dipastikan bahwa hutan di sekitarnya terjaga dengan baik.
Kepakan Enggang dan Auman Harimau terus bergerak menuju perbatasan Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Desa Warukin, merupakan satu-satunya wilayah masyarakat adat Dayak Kalimantan Selatan yang induknya ada di Kalimantan Tengah. Ini adalah desa multietnis dan berada dalam kepungan dan ancaman tambang batubara. “Kami tidak hidup bergantung kepada investasi, kami tetap mandiri dan berkembang dengan cara-cara yang kami pegang dari warisan leluhur kami,” kata Kepala Desa Warukin.
Ketua Dewan Adat Dayak Kabupaten Tabalong menyerukan, “Banyak industri atau investasi yang sering mengatasnamakan negara untuk menyejahterakan rakyat, namun nyatanya rakyat tetap saja dimiskinkan”. “Kami bukan menentang industri, tapi jika mereka berniat untuk berinvestasi disini, anggap kami sebagai manusia yang juga memiliki hak-hak adat, bukan sebagai penonton, mengambil sesuatu dari alam, mengambil sesuatu dari kami, maka harus ada kontribusi yang setimpal bagi masyarakat adat disini,” tegasnya lagi.
Enggang dan Harimau terus bergerak menyentuh perbatasan Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, Pasar Panas, Tamiang Layang. Disambut dengan berbagai tarian adat khas masyarakat Dayak yang terinpirasi oleh hutan tanah leluhur, tarian mencari ikan, dan tarian bulat. “Hutan, rawa, sungai, dan danau yang dijaga oleh leluhur kami dari dulu, kini semakin menipis, kami semakin sulit mencari sumber pangan untuk kehidupan kami,” ucap Ibu Mardiana, Ketua Sanggar Rirung Munge yang diasuhnya sejak tahun 1998.
“Pembangunan yang berbasis pengerukan sumberdaya alam telah menyebabkan keterpinggiran dan keresahan rakyat. Yang ada hanya kesejahteraan semu dan rawan konflik sosial, WALHI mengecam pola seperti ini dan menuntut pelayan Negara untuk peka terhadap perlindungan masyarakat dan keseimbangan ekologis. Pemulihan hak-hak rakyat dan ekologis Indonesia sudah tidak bisa ditawar lagi ,” ujar Hegar Wahyu Hidayat, Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Selatan.
“Kaji ulang terhadap proses pembangunan termasuk kaji ulang perijinan eksploitasi hutan adalah untuk dilakukan dalan kerangka moratorium hutan di Indonesia.” tutup Zulfahmi, Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia.
Kontak:
  1. Zulfahmi, Jurukampanye Hutan Greenpace Indonesia, 08126821214
  2. Hegar Wahyu Hidayat, Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Selatan, 08125039814
  3. Nur Hidayati, Kepala Departemen Kampanye dan Advokasi WALHI Nasional, 081319809441
  4. Dwitho Frasetiandy, Manajer Kampanye WALHI Kalimantan Selatan , 08561831939
  5. Rahma Shofiana, Jurukampanye Media Greenpeace Indonesia, 08111461674

1 komentar:

Terimakasih atas komentar Anda